Selasa, 13 Desember 2011

Cerpen

Mesin ketik pertama Arswendo Atmowiloto

Oleh : Arswendo Atmowiloto

 
Saya menulis cerita pendek mulai kelas dua SMA. Mestinya jauh sebelum itu, karena itu yang pertama kali dimuat. Tentang kisah cinta sesama teman sekolah. Lalu banyak menulis cerpen dalam bahasa Jawa. Salah satunya BAKUL JAMU atau penjual obat pinggir jalan yang biasanya penuh atraksi.

Saya ingat karena karena cerpen itu dikomentari sastrawan senior N. Sakdani Darmopamudjo. Tentu saja cerita ini lahir dari tangan saya--dalam artian sebenarnya--karena saya tulis dengan tangan. Tulisan tangan saya tidak bagus... sampai sekarang susah dibaca, mirip resep bikinan dokter.

Sebagian dari karya saya kemudian saya berikan ke biro jasa pengetikan. Waktu itu di Solo ada banyak biro jasa seperti itu. Kita bisa mengetikkan , dapat rangkap dua, dengan ongkos tertentu per halaman. Tapi ya itu tadi, tulisan saya susah dibaca dan susah ditafsirkan. Akibatnya, banyak salah ketik.

Tanpa banyak belajar, saya bisa mengetik di kantor kelurahan. Biasanya sehabis jam kantor, kelurahan sepi. Mesin ketik gede pun menganggur sehingga saya bisa leluasa menggunakan. Namun, kondisinya sudah tidak memenuhi syarat. Pitanya kering dan hancur, huruf-hurufnya harus dibersihkan, sehingga cara terbaik adalah memakai karbon. Aslinya tak jelas, tapi hasil karbon bisa terbaca. Apalagi harga karbon jauuuuh lebih murah dibandingkan dengan harga pita mesin ketik.

DIGADAIKAN IBU

Sebenarnya, kami pernah memiliki mesin ketik, warisan keluarga. Saya pernah menggunakan sesekali. Tapi oleh Ibu, mesin ketik itu digadaikan ke keluarga dekat. Karena tiga bulan tak bisa menebus, akhirnya "mabur" alias terbang tak kembali.

Sebenarnya keluarga dekat itu bukan tukang gadai. Tapi Ibu sering meminjam uang dan biasanya susah ditagih. Saya sempat marah besar kepada Ibu, namun Ibu menerangkan: "Itu lebih baik daripada kelaparan, dijual kan sayang."

Untuk jangka yang lama saya membenci Ibu karena tak menemukan alasan kenapa mesin ketik itu digadaikan. Ibu menyesali perbuatan itu, dan menurut cerita, ia mau "menjual rambut tubuhnya" jika bisa menebusnya. Tapi tak ada yang mau membeli rambut Ibu. Versi lain diceritakan tetangga. Ibu terpaksa menggadaikan mesin ketik itu bukan untuk kebutuhan sendiri, melainkan untuk menolong seseorang yang datang padanya meminjam duit.

Beberapa kali saya minta klarifikasi ke Ibu, tapi tak ada jawaban pasti. Untuk satu hal ini, Ibu lebih suka tutup mulut.

Akhirnya, ada jalan keluar yang tak terduga. Bisa jadi beginilah jalan Tuhan yang susah dimengerti, tapi mudah dirasakan. Saya menjaga toko kelontong milik keluarga dekat tadi. Saya menjaga saya juga berbelanja ke toko grosir dan melakukan pembukuan. Untuk itu, saya tidak menerima gaji, tapi bisa menggunakan mesin ketik.

Selama tak ada pembeli, saya bisa terus mengetik. Sebuah penyelesaian yang sama-sama menyenangkan. Saya mengusulkan toko buka 24 jam, meski yang disetujui hanya sampai pukul 22.00.

Toh, keinginan memiliki mesin ketik sendiri tetap menggebu, apalagi setelah toko kelontong itu punya penjaga lain. Saya merasa kurang leluasa mengetik. Untunglah, tak lama kemudian saya diterima bekerja di sebuah penerbitan berbahasa Jawa. Di sini saya bisa mengetik. Tapi, karena satu mesin dipakai tiga empat wartawan, kami harus antre. Di malam hari kadang saya tertidur dalam antrean.

Di samping pekerjaan kantor, saya mengetik juga keperluan pribadi. Menulis artikel, cerita pendek, dan cerita bersambung untuk dikirimkan ke penerbitan di Jakarta. Untuk kertas yang dipakai urusan pribadi, saya membawa sendiri dari rumah. Kertas itu biasanya kertas buram--begitu istilahnya, harganya murah.

Kertas itu tidak dibeli per rim, melainkan secara eceran. Bisa dibeli hanya 100 lembar, 50 lembar, bahkan 10 lembar pun dilayani. Dapat dibayangkan betapa repotnya menghitung lembar demi lembar, kadang tangan dibasahi ludah lebih dulu.

Saya mencoba menyisihkan uang agar kelak bisa membeli mesin ketik. Yang bekas pun tak apa. Namun, keinginan itu lebih sering mentok oleh kebutuhan perut. Hanya mereka yang pernah merasakan lapar, tahu betapa kelaparan bisa mendorong seseorang berbuat yang kita sesali, termasuk membenci Ibu atau mengecewakan anak. Hanya mereka yang tulus akan menemukan jalan keluar yang menyenangkan, tidak menyakiti siapa-siapa, dan tidak menyisakan dendam.

BUAH PERKAWINAN

Tahun pertama pernikahan, saya lebih memperkuat tekad untuk bisa membeli dan memiliki mesin ketik sendiri. Istri saya yang bekerja sebagai penjahit setuju untuk sama-sama menyisihkan uangnya. Dimasukkan ke "tabungan" yang diletakkan di kamar tidur. Bukan celengan ayam atau babi, melainkan kendi, tempat air dari tanah.

Kalau saya menerima honor tulisan, separuh masuk tabungan. Juga istri saya kalau menerima honor jahitan. Kalau tidak begitu, tidak ada yang tertahan. Sebelumnya, kami sudah melakukan hal yang sama ketika membeli mesin jahit bekas, dan sukses.

Meskipun tidak mencatat, kami sering berhitung. Kira-kira sudah berapa, hari ini memasukkan berapa, minggu ini memasukkan berapa. Perolehan dari honor-honor saya lumayan sebenarnya. Karena saya juga menulis laporan atau berita--lebih sering berbentuk feature--untuk harian KOMPAS dan mingguan TEMPO. Mungkin saya satu-satunya koresponden lepas yang bekerja untuk dua media yang berbeda. Herannya, saya memiliki surat tugas resmi, selembar kertas yang menerangkan saya koresponden lepas, dengan jangka waktu tertentu.

Honor menulis cerpen sekitar lima kali hasil menjahit baju. Namun tak bisa dijadwalkan kapan saya terima. Sementara menjahit bisa diperhitungkan, tiga hari dikerjakan selesai. Bisa langsung terima ongkos jahit... kalaupun mundur pembayaran, masih bisa diperkirakan. Baik menjahit maupun mengetik tak memerlukan modal besar. Menjahit hanya perlu membeli benang dan jarum sesekali, sedangkan mengetik hanya memerlukan kertas. Masalahnya, mesin jahit sudah ada, mesin ketik belum!

Sambil menunggu tabungan penuh, kami berdua rajin ke toko, melihati pajangan mesin ketik, dan mengumpulkan data-data, merek ini harganya berapa.Keinginan saya adalah mesin ketik portable--bukan yang gede kayak di kantor. Buatan Jepang lebih murah dari buatan Jerman, Inggris atau negara lain.

Ketika merasa sudah cukup, kami pun sepakat untuk memecahkan kendi. Benar, uang yang kami kawinkan berhasil mencapai harga mesin ketik di toko. Tak menunggu lama, kami berdua naik becak menuju kompleks pertokan di daerah Singasaren, sekitar tiga kilometer dari rumah. Dengan gagah kami membeli. Akhirnya! Ya, akhirnya saya, eh kami, memiliki mesin ketik sendiri!

Pulangnya saya tak mau naik becak. Mesin ketik sengaja saya tenteng sambil jalan kaki. Biar seluruh dunia tahu saya mampu membeli mesin ketik. Baru. Merek Brother, buatan Jepang -- mungkin juga buatan Taiwan atau Tiongkok, atau malah rakitan negeri sendiri. Kami hanya beristirahat di warung bakso. Bukan karena kecapekan, melainkan masih ada sisa duit. Melanjutkan jalan kaki, lewat deretan toko yang lampunya terang. Sehingga orang-orang bisa melihat kami membawa mesin ketik!

Sampai di rumah, mesin ketik dibuka plastiknya, saya letakkan di ranjang. Lalu dikeloni. Sengaja saya tidak menggunakan malam itu. Ingin memandang sepuasnya. Saya sudah menyatakan tekad bulat: segenting apa pun hidup ini, mesin ketik ini tak boleh digadaikan.

AMAN BERSELIMUT

Esoknya, berita besar sampai di kantor. Saya mendapat ucapan selamat. Semua teman menyatakan turut bergembira. Tentu saja mereka bergembira karena saya tak ikut antrean lagi.

Sejak itu hiasan rumah jadi berubah. Bertambah dengan pita yang direntangkan dari ujung ke ujung. Pita mesin ketik yang kering diminyaki, kemudian diangin-anginkan. Ini cara yang lebih mudah dibandingkan membeli yang baru. Pernah saya melakukan kebodohan yang disesali agak lama. Membeli pita baru yang dua warna: merah dan hitam. Ternyata warna merah praktis tak pernah digunakan, artinya hanya mempergunakan separuh. Duuuuh, nyesel rasanya.

Akhir 1973 saya mengembara ke Jakarta, sendirian. Anak dan istri di rumah. Pekerjaan saya menulis resensi, atau apa saja untuk dikirimkan ke media yang ada. Media mana saja. Mesin ketik itu saya bawa karena tak punya kantor. Saya memperoleh tempat tinggal di daerah Cililitan, di sebuah kebun kosong milik orang yang baik hati. Di sana ada rumah, namun kurang terurus... memang tak ditempati. Ada daun pintu, tapi tak ada kunci, dan engselnya mudah lepas.

Kalau saya dan teman-teman pergi, mesin ketik itu saya bungkus selimut, disembunyikan di kolong ranjang. Nyatanya selamat dari pencuri yang bisa masuk leluasa jika mau.

Kemudian saya mulai bekerja di grup ... namanya belum divisi majalah, di Gramedia. Mesin ketik itu pun ikut pindah ke rumah kontrakan di daerah Kalipasir, Cikini, kemudian ke Depok. Kadang kalau tugas keluar kota saya bawa.

Kami berpisah sementara di akhir tahun 1979 ketika saya mendapat beasiswa dari University of Iowa, Amerika Serikat. Saya mendapat kesempatan mengikuti kuliah dan membeli kuliah, kalau mau, mengenai penulisan kreatif. Hasil pertama di sana saya isi dengan membeli mesin ketik. Waktu itu mesin ketik sangat murah karena adanya komputer. Belinya di toko loak.

Suara tak-tik-tak-tok yang merdu turut hilang, berganti tet-tet-tet-tet mesin ketik listrik. Rasanya kok kurang pas. Itu sebabnya saya beli lagi mesin ketik biasa. Saah satu novel yang saya tulis lewat mesin ketik itu adalah DUA IBU yang dimuat bersambung di KOMPAS dan diterbitkan Gramedia, lalu mendapat penghargaan sebagai buku terbaik dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dua mesin ketik itu saya bawa pulang, meskipun praktiknya saya masih lebih sering menggunakan merek Brother, yang kini telah berubah, catnya diperbarui. Kalau tak salah pernah dua kali diperbarui catnya, sebelum akhirnya lebih banyak digunakan keponakan. Sekitar 1985-an saya mulai menggunakan komputer. Membeli dari Parakitri Tahi Simbolon yang menjual berikut mesin printernya.

DOA DARI PENJARA

Saya memang selalu mengetik. Boleh dikata, tak pernah tiga hari berturut-turut, dalam kondisi apa pun, saya tidak mengetik. Setidaknya sampai 1990 ketika saya masuk penjara. Saya masih menulis, mengumpulkan lelucon-lelucon, yang lantas menjadi buku MENGHITUNG HARI, juga dibuat sebagai sinetron dengan judul yang sama dan dipilih sebagai sinetron terbaik. Capek sekali menulis tangan seperti dulu. Akhirnya, saya secara khusus merumuskan cara berdoa.

"Tuhan, tangan saya capek menulis. Beri kesempatan menggunakan mesin ketik kalau itu membawa kebaikan bagi saya. Jangan beri kesempatan kalau ternyata menjauhkan dari-Mu." Saya minta bantuan istri dan anak-anak berdoa dengan tema serupa: mendapatkan mesin ketik.

Eeeee, manjur seketika atau kebetulan, saya diizinkan memakai mesin ketik. Surat permohonan yang sudah diajukan sejak masuk, tiba-tiba diberi izin, dengan surat khusus. Alasan yang saya pakai untuk mengetik pembelaan. Surat izin itu saya beri bingkai, saya tempel di kamar. Isinya bahwa saya bertanggung jawab penuh atas penggunaan mesin ketik itu, tak boleh dipinjamkan kepada orang lain tanpa izin tertulis dari pimpinan.

Suatu ketika ada sipir yang mau meminjam mesin ketik, tetapi saya tolak. Padahal hanya mengetik satu huruf. Ya, satu huruf. Sipir itu baru saja memfotokopi kartu tanda penduduk. Rupanya ada huruf yang tak tersalin dengan jelas, dan hanya bisa dibetulkan dengan mesin ketik karena jenis hurufnya sama. Tapi saya keukeh tak memberikan dengan menunjukkan tanda larangan meminjamkan.

Di ruang keamanan--hanya ini tempat yang diperbolehkan untuk mengetik, itu pun siang hari--saya tak cuma mengetik pembelaan, tapi juga cerpen, novel, cerita bersambung, sesekali artikel. Dengan nama samaran, saya kirimkan dan dimuat di banyak harian, mingguan, dan majalah.

Gangguan kala mengetik hanya terjadi kalau ada napi berkelahi, pukul-pukulan, tusuk-tusukkan, atau tertangkap sodomi. Di ruang itulah diperiksa, berdaah-darah. Saya tak tega melihatnya. Mungkin kalau dulu saya berdoa: "Tuhan beri kesempatan saya menggunakan mesin ketik siang dan malam", lain ceritanya.

Sekarang, ketika menulis ini, saya tak lagi memakai mesin ketik. Tapi saya mengoleksi banyak mesin ketik, dari semua jenis yang pernah saya gunakan dan masih saya ingat, sampai yang aneh-aneh. Ada yang hurufnya amat sangat kecil, berhuruf Jepang, Arab, Thailand, Ibrani, India, ada juga yang sangat besaaaaar, hurufnya berdiri seperti bulu merak, hurufnya kapital semua, hurufnya terbuat dari perak, berukuran lebih kecil dari korek api [ini lebih sebagai hiasan], sampai yang masih lengkap tas pembungkusnya [dari kulit, kayu, plastik].

Beragam benar, dan semua masih bisa digunakan untuk mengetik. Saya memang senang mengoleksi. Mungkin karena dulu pernah menggunakan berbagai jenis yang tak bisa saya miliki. Mungkin juga karena kini saya merasa punya duit dan mampu membeli. Mungkin juga karena keinginan bernostalgia, sebagai kenangan yang bisa menjadi kekuatan rohani saat itu... atau juga sampai saat ini.

Yah, hanya mereka yang penah lama mengetik dengan mesin ketik manual bisa merasakan irama tak-tok-tak-tok yang indah, merdu, dan memberi kekuatan hidup. (*)

Sumber: Intisari, Februari 200



*) terakhir dipost oleh : hurek.blogspot.com

Cerpen

Suamiku Jatuh Cinta pada Jam Dinding

Oleh : Arswendo Atmowiloto

 

Sebenarnya ini bukan sesuatu yang luar biasa bagiku, karena aku tahu kebiasaan suamiku yang tidak biasa. Sebagai suami, sebenarnya ia tak beda banyak dengan lelaki lain, atau suami lain yang pernah kudengar. Dan menurut penilaianku ia termasuk suami yang baik: suami yang mencintai, bertanggung jawab, dan kadang tidak setia. Ia mencintaiku dan itu kurasakan. Ia bertanggung jawab sebagaimana suami dalam tata nilai tradisi: bertanggung jawab atas semua kebutuhan dengan sukarela. Kalau ia mengaku tidak setia, karena memiliki ukuran berbeda.

Katanya: “Bahwa sebenarnya kesetiaan itu bukan diukur apakah seseorang berkhianat atau tidak, melainkan apakah ia kembali lagi atau tidak.” Kata-kata itu mungkin menghibur, tapi tak mengubah bahwa hati seorang istri hancur karenanya. Siapa yang tidak meledak kalau mendengar penjelasan berikutnya.
“Sebagaimana kematian adalah bagian dari kehidupan, demikian juga patah hati atau sakit hati adalah bagian yang sama dengan jatuh cinta. Kalau kamu pernah mengalami sakit hati, cintamu akan menjadi sempurna.”
Mungkin akan sempurna kalau aku patah hati dengan lelaki lain, misalnya. Bukan dengan suami sendiri. “Sebetulnya sama saja. Hanya saja sebutan suamiku, menunjukkan kepemilikanmu, jadinya terasa lebih menyakitkan.”
Saat itu merupakan masa-masa yang berat bagiku. Sama beratnya ketika nafsu seksualnya begitu menggebu dan aku makin menggerutu. Sampai pada titik jenuh, sehingga sakit walau hanya disentuh. “Dalam pikiran lelaki, hubungan seks adalah bentuk cinta. Makin perkasa dia, membuktikan ia makin mencintai.” Jelas itu omong kosong. “Akan ada waktunya nanti ketika daya seksual melemah atau habis, cinta memisahkan diri dengan nafsu seksual. Ketika itu cinta tak perlu dibuktikan dengan hubungan seksual. Nafsu seks bisa mati dan berhenti, tapi cinta bisa terus jalan sendiri.” Artinya kalau setelah daya seks melemah, tapi masih bisa betah bersama-sama, itu artinya masih cinta. “Saat seperti akan datang dengan sendirinya, tak perlu dipaksa, sebagaimana usia. Tanpa kecuali semua bertambah tua, juga dunia.”
Dan kini, ia jatuh cinta kepada jam dinding. Aku bisa merasakan, karena aku sangat mengenalnya sekian lama, dan juga karena ia tak menutup-nutupinya.
“Bagaimana kamu bisa jatuh cinta kepada jam dinding itu?”
“Seperti yang selama ini terjadi,” katanya menjelaskan. “Aku melihat jam dinding itu, tertarik, dan terjadi dramatisasi dalam seluruh kesadaranku. Karena kita membelinya bersama-sama, kamu ingat hari-hari yang kita lalui bersama jam dinding. Itu yang menjadi berharga.”
Jam dinding itu memang dibeli pertama kali kami pindah ke Jakarta. Di sebuah rumah kontrakan yang hanya satu kamar-dan satu pintu untuk keluar masuk, kamar tidur hanya ditutup tirai, sehingga jam dinding itu kelihatan terlalu besar. Sebenarnya sebutan jam dinding itu tak sepenuhnya tepat. Karena kamar kontrakan yang kami tempati tidak memiliki dinding. Hanya ada papan yang ditempeli kertas semen berlapis, lalu dicat. Jam itu bisa jatuh setiap saat. Bentuknya agak bujur sangkar dengan angka yang jelas, mulai dari 1 sampai angka 12. Ini kesepakatan bersama sebelum membeli, karena kalau tidak memakai angka, atau angka Romawi, kami sering salah lihat. Agak modern, karena di bagian bawah ada lubang yang menunjukkan tanggal serta nama hari-walau dalam bahasa Inggris. Ada tombol manual untuk menyesuaikan hari di sebelah kanan atau bawah, juga untuk membetulkan tanggal, entah sebelah kanan atau bawah. Yang akan berubah sendiri dan mengeluarkan suara jeglek keras tengah malam saat berganti. Warna dasarnya coklat, ada kontur putih. Ini model yang agak mewah, walau harganya paling murah dibandingkan dengan yang ada di toko waktu itu. Dengan satu baterai tanggung, jam itu bisa menunjukkan waktu untuk jangka lumayan lama, sebelum akhirnya batu baterainya harus diganti. Di rumah kontrakan yang sempit, satu-satunya tempat ya di ruang tamu, merangkap ruang keluarga, ruang bermain. Kalau tidak salah-mestinya tidak, jam dinding itu dibeli bersamaan dengan pembelian kursi yang memakai roda di bawahnya, yang ditawarkan dengan nama kursi direktur. Praktis roda itu tak bisa bergerak ke mana-mana karena ruangan sempit. Ketika akhirnya kami bisa pindah ke rumah yang bisa dicicil selama 20 tahun, kursi direktur dan jam dinding ikut pindah. Hanya karena rodanya sering macet-atau sebenarnya takut terlindas roda ketika anak-anak mulai merangkak-kursi itu diistirahatkan. Aku lupa bagaimana nasibnya: jelas tak mungkin dijual ke tukang loak. Walau tak ada sisanya, juga dalam ingatan. Sedangkan jam dinding itu, kini menempati posisi utama di ruang keluarga. Sampai kemudian kami pindah lagi ke rumah yang lebih besar, dengan garasi lebih lebar, dengan ruang keluarga yang menganga, jam dinding itu tetap menguasai. Ditempel di atas pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan ruang lain yang sering dilewati. Sehingga semua orang bisa melihati. Ini menjadi masalah karena kemudian jam dinding itu berubah semaunya. Perubahan tanggal dan hari tidak terjadi tengah malam, melainkan suka-suka jam dinding itu sendiri. Bisa pagi, tahu-tahu ada suara jeglek. Sering kali lebih dari 24 jam. Beberapa kali diganti batu baterai, jadi baik lagi. Tapi yang terakhir ini, biarpun diganti batu baterai, kadang ngadat. Artinya putarannya betul-betul sesukanya. Karena mengganggu-terutama mengganggu mereka yang baru melihatnya, tempatnya berpindah ke kamar tidur.
Di kamar tidur pun kelakuan jam dinding itu sama. Baginya sehari bukan 24 jam. Mungkin 20 jam, atau lama-lama malah berhenti di pukul lima kurang lima. Sebulan lebih begitu terus. Tahu-tahu berubah sendiri. Terbersit suamiku yang menyesuaikan untuk suatu ketika, tapi terhapus dengan sendirinya karena itu tak mungkin dilakukan suamiku yang pemalas. Sedemikian malasnya ia, sehingga ketika makan dan sendoknya jatuh, ia melanjutkan dengan tangan telanjang.
“Jam itu tak ada gunanya,” kataku.
“Salah, Di kamar tidur ini kita tak membutuhkan waktu. Menunjuk ke angka berapa pun, apa bedanya.”
Mengganti dengan batu baterai yang baru pun tak ada gunanya. Membawa ke tukang reparasi jam tak ada gunanya. Ongkosnya akan mahal. Sementara jam yang sama dan sejenis atau bahkan lebih bagus cukup banyak. Ada masanya banyak perusahaan berpromosi dengan jam dinding. Bahkan juga nama yayasan yang meminta bantuan. Jumlahnya banyak sekali. Artinya jam dinding itu sudah tidak mempunyai fungsi. Selain sebagai hiasan, di mana sebagian kenangan masih bisa diingat-ingat darinya.
“Kenangan tak akan pernah bisa dikalahkan oleh waktu. Justru kenangan menang dengan waktu. Makin lama berlalu, kenangan makin bermutu. Ingat itu.”
Menjadi indah, walau bikin gundah, adalah contoh yang diberikan kemudian: “Itu sebabnya seorang lelaki yang mempunyai istri lebih satu, selalu yang memberi kenangan lama yang akan menang. Betapa pun lebih hebatnya istri kedua atau ketiga, dalam soal kenangan, selalu lebih banyak istri pertama. Bahkan untuk merasakan lebih baik pun perbandingannya dengan kenangan sebelumnya.”
“Berarti aku selalu nomor satu.”
“Setelah ibuku.”
Sebagaimana lelaki pada umumnya juga, suamiku juga pecinta ibu. Yang tidak malu-malu mengakui, tidak malu dikeloni meskipun saat itu sudah punya istri aku. Sedemikian dekatnya suamiku kepada ibunya, sehingga waktu ibunya meninggal aku sangat ketakutan.
“Sekarang yang kamu hormati, dan kau takuti sudah meninggal. Kamu pasti berani kawin lagi.”
“Mungkin.”
“Mungkin?”
“Mungkin, karena semua lelaki mempunyai bakat untuk itu. Tapi secara praktis tak akan menyenangkan. Di dunia, satu-satunya tata krama yang aneh dan disepakati di seluruh dunia adalah tata krama dalam lembaga perkawinan.
Bayangkan, seseorang naik becak atau bis kota, ia naik dulu baru bayar kemudian, mungkin di tengah jalan, mungkin di tujuan. Seseorang yang naik kereta api atau naik pesawat terbang membayar di depan, tapi untuk satu atau dua perjalanan. Dalam perkawinan pembayaran dan ikatan berlangsung selamanya. Kontrak ikatan yang paling dungu, tapi dianggap aman bagi lelaki dan perempuan.”
“Berarti kamu menyesali perkawinan?”
“Satu-satunya yang kusesali dalam hidup ini adalah karena aku tak bisa menyesali apa yang terjadi. Aku bahkan tak mampu menyesali kenapa aku tak dilahirkan di Irian atau Nepal di puncak gunung saja. Atau di tempat yang paling aku sukai, tempat yang ada sungainya, lalu aku bisa bermain sepuasnya, memandangi terus.
Menyesal hasil dari pikiran, dari nalar.
Dan nalar bahkan tak bisa menjelaskan hal yang paling sederhana dan terjadi pada semua orang: “cinta”.
Di kamar tidur jam dinding itu sebenarnya tak terlalu mengganggu, karena letaknya di kepala, agak ke atas. Sehingga ketika berangkat tidur, atau bangun, juga selama berbaring tak perlu melihat ke arahnya. Tapi memang , saat keluar dan masuk kamar, masih saja melihatnya. Dan selalu menemukan jarum jam tidak menunjukkan waktu yang disepakati.
Sehingga aku berniat memindahkan.
“Bahkan ketika kamu memindahkan, ia tetap ada. Kamu bisa merasakan keberadaannya saat tiada.”
Ada benarnya juga, karena ketika kupindahkan ke dapur, aku masih menengok ke tengah jam dinding lama dipasang. Bahkan ketika di tempat itu dipasang jam dinding baru, yang terbayang adalah jam dinding lama.
“Lelaki mengenal cinta pertama melalui ibu, demikian juga bayi perempuan. Sampai kemudian merasa perlu kepada pacar atau kekasih, sampai dengan kepada istri. Semua terjadi dengan rasa aman, karena ia tak mungkin menerima cemburu dari ibunya. Atau cemburu yang aman-yang membiarkan kita mencintai orang lain. Seorang istri, juga seorang suami tak bisa benar-benar begitu.
Baru kemudian cinta aman berlanjut ketika mencintai binatang kesayangan, ketika mencintai tumbuhan, ketika kemudian mencintai barang.
Kamu mungkin berpikir cinta semakin menurun kadarnya, dari seorang ibu ke istri, ke binatang, dan ke barang. Mungkin itu ke kedewasaan, karena kemudian bisa saja jatuh cinta ke suatu yang tak ada.”
Aku tak begitu yakin apa yang dikatakan, tapi bisa merasakan. Cinta yang harus terbagi padaku ketika ia menceritakan kemesraan ibunya, jauh berbeda dengan pacarnya, kemudian dengan binatang atau jam dinding.
“Benarkah semata-mata karena rasa aman yang membedakan cinta?”
“Bisa begitu, bisa rasa-rasa yang lain. Sesungguhnya cinta hanya ada dalam pembesaran di pikiran, di perasaan. Cinta tak akan selesai dirumuskan dengan pemikiran.”
Cinta aman bisa terus ke cucu, ke menantu, ke tanah, ke yang sudah tidak ada. Atau bahkan ke yang tak pernah ada. Atau ada, walau tak berguna.
“Seseorang hanya memiliki satu cinta. Seperti air sungai, bisa mengalir ke mana-mana, membelok ke selatan atau ke utara, tapi sebenarnya satu arus saja.”
Tiba-tiba aku sadar dan menjadi sangat jengkel. Dengan kalimatnya itu berarti perkawinan tak banyak maknanya, toh tak menghalangi cinta mengalir ke jurusan mana saja. Aku lebih jengkel karena jam dinding itu ketika dipasang di dapur bisa bergerak lagi. Memang tidak tepat untuk waktu-entah kenapa selalu lebih maju.
“Istriku, ketika kita memutuskan untuk membeli jam dinding itu, itulah keberanian, itulah anugerah yang sama ketika memutuskan menjadi suami-istri dalam suatu pernikahan. Keberanian, karena banyak cinta diutarakan tanpa keberanian menikahi resmi. Anugerah, karena itu hadiah besar. Semua itulah harga yang kita bayar untuk selamanya memiliki, merawat, memanjakan dan dimanjakan. Kita tak akan merasa aman, merasa memiliki, hanya dengan melihat di pajangan toko, atau dipasang di sini karena dipinjamkan. Bahkan ketika kita membelinya dengan mencicil, sejak awal kita merasa memiliki secara resmi ketika memandangi.
Pada jam dinding lain kita bisa mengagumi, tapi kita tak mudah jatuh cinta karena kita tak memiliki kenangan yang menjadi berharga dengan berlalunya waktu yang kita lewati bersama.”
Jam dinding bermerek Citizen itu masih bergerak-gerak-kini aku tahu jarum yang menunjukkan detik memang bergerak lebih cepat dari jam dinding lain. “Kita tahu bahwa merek itu hanya ditempel oleh penjualnya. Bisa merek yang sama ditempelkan pada jam dinding lain, atau jam dinding itu menjadi merek lain. Itu biasa dalam jual beli jam di toko. Seperti juga namamu, namaku. Bisa dipakai orang lain, atau nama kita ini hasil pinjaman nama orang lain.
Kalaupun jarum detik bergegas, kita menerimanya sebagai paket. Sebagaimana aku menerimamu meskipun kamu cerewet, atau aku yang tidak cerewet.”
Seharusnya akulah jam dinding itu: menandai waktu berlalu secara bersama, mendetakkan berbagai peristiwa dan karenanya menjadi rangkaian kenangan, yang selalu ada dan bertambah, pun ketika harus berada di dapur atau kamar tidur, pun saat waktu terulur.
Sesungguhnyalah suamiku adalah jam dinding, dan aku bahagia jatuh cinta padanya. Akulah sungai yang memiliki keberanian menerimanya sebagai anugerah.*

*) terakhir dipost oleh : http://cerpenkompas.wordpress.com

Cerpen

Maafkan Aku Mencolek Pantatmu
oleh :  Arswendo Atmowiloto

Suatu hari di sebuah toko buku….
“Eh, sorry”.
“Kurang ajar !. Kamu sengaja ya ! Mau curi – curi kesempatan ya !”.
“Enak aja. Siapa yang mau curi – curi kesempatan ?”.
“Buktinya kamu nyolek pantatku !”.
“Aku nggak nyolek. Aku mau ngambil buku itu tapi nggak sengaja kena pantatmu”.
“Alaaah alasan !. Muka seperti kamu emang muka – muka mesum”.
“Hei, jangan sembarangan ya kalo ngomong, tak sobek – sobek mulutmu nanti !!”.
“Emangnya kenapa, kamu mau pukul aku ?. Pukul kalo berani !. Udah nyolek masih mau mukul juga ?”.
“Dasar cerewet. Awas kamu… !”.
“E…e…e… ada apa ini, kok ribut – ribut ?”, seorang satpam datang.
“Dia nyolek pantat saya, pak satpam”.
“Bohong pak !. Saya nggak ada maksud, saya nggak sengaja”.
“Iya, tapi kan sama aja. Artinya tangan kamu sudah menyentuh pantatku !. Sama aja kan?”.
“Lain dong !. Saya kan nggak sengaja. Kalo disengaja, rasanya lebih nikmat. Kalo nggak disengaja, nggak kerasa apa – apa”, kata si pemuda
“Benar begitu anak muda ?”, tanya pak satpam kepada pemuda itu.
“Saya nggak bohong pak satpam. Coba deh bapak buktiin sendiri”.
Sesaat kemudian…
“Kok pak satpam ikut – ikutan nyolek pantat saya sih ?”.
“Eh… enggak… saya cuma mau buktiin, bener nggak omongan pemuda ini”.
“Gimana pak ?”, tanya si pemuda kemudian.
“Kamu betul anak muda. Rasanya memang lain”.
“Lho, bagaimana urusannya ini ?. Saya malah dua kali dicolek. Gimana sih ?”.
“Mbak, pemuda ini nggak salah, soalnya dia nggak sengaja, dan dia nggak merasakan nikmat apa – apa”.
“Berarti pak satpam dong yang salah ?”.
“O nggak bisa. Saya penegak hukum di sini. Saya nggak bisa disalahkan. Justru tugas saya mencari siapa yang salah untuk selanjutnya dihukum”.
“Tapi pak satpam tadi udah nyolek pantat saya”.
“Itu hanyalah cara saya untuk mencari pembuktian. Itu bukan kesalahan”.
“Terus gimana dong ?”.
“Begini saja. Kalian berdua berdamai saja. Mbak balas saja nyolek pantat mas ini”.
“Ah nggak mau. Pantatnya tepos”.
“Enak aja main balas. Aku nggak mau dicolek sama perempuan ini !”.
“Terus gimana dong ?”.
“Ask the audience1). Kita tanya pengunjung toko buku ini yang sedari tadi sudah melihat ribut – ribut ini. Gimana bapak – bapak, ibu – ibu?”.
“Setujuuu !”.
“Colek !”.
“Cium !”.
“Jambak !”.
“Tampar !”.
“Masukin penjara !”.
“Telanjangin !”.
“Bilangin ke ibunya !”.
“Pelecehan !”.
“Hidup emansipasi !”.
“Merdeka !”.
“Sunat !”.
“Campur sari !”.
“Astaghfirullah !”.
“Pak, bukunya dibayar dulu !”.
“Aku ra melu – melu lho !”.
“Stooooooooooopppp !!!”.
Suasana hening…
“Kalian apa – apaan sih ?. Dimintain pendapat malah ribut sendiri – sendiri !”.
“Kita nggak bisa pake cara ini pak satpam”, kta si pemuda.
“Lalu ?”.
“Phone a friend2)”.
“Ok, boleh kita coba. Anak muda, kamu mau telpon siapa?”.
“Kakek saya”.
“Kenapa ?”.
“Dulu dia juga pernah mengalami masalah seperti ini”.
“Ok. Mbak, mau nelpon siapa ?”.
“Komnas HAM”.
“Kenapa ?”.
“Saya sudah dirugikan”.
“Ok. Kita mulai. Kamu duluan anak muda. Waktu kamu 60 detik dari… sekarang”.
Sesaat kemudian…
“Hallo eyang, saya lagi ada masalah nih. Saya nggak sengaja nyolek pantat cewek, dan sekarang dia marah sama saya. Gimana dong, saya mesti gimana nih. Padahal saya kan nggak sengaja“.
“Ceweknya seksi nggak ?”.
“Ya, lumayan sih”.
“Kamu tadi nyolek yang sebelah kiri atau kanan ?”.
“Kayaknya sebelah kiri deh”.
“Kalo gitu, sekarang colek aja yang sebelah kanan, beres kan?”.
“Aduh, eyang gimana sih, kok malah begitu ?. Ya udah deh, makasih banget eyang”.
“Cukup, waktu habis !. Sekarang giliran mbak. Silahkan mbak, waktu anda 60 detik dari… sekarang”.
Sesaat kemudian…
“Gimana mbak…?”.
“Aduh, tulalit, telponnya lagi rusak”.
“Kalo gitu kita ke pilihan yang terakhir. Fifty fifty3)”.
“Apa pilihannya pak satpam ?”.
“Anak muda, kamu harus mau dicolek sama mbak ini atau… kalo nggak mau, kamu mesti masuk penjara !”.
“Apa ?!. Aku nggak mau !. Enak banget dia nyolek pantatku”.
“Aku juga nggak mau nyolek pantat dia. Pantatnya tepos. Nggak adil dong. Lihat nih pantatku, semok kan ?”.
“Ya udah, terserah kalian. Pilihannya cuma itu”.
“Ok lah. Nih, silahkan”, pemuda itu menyodorkan pantatnya.Sesaat kemudian…
“Pak satpam lihat tuh, dia menikmati nyolek pantatku”.
“Alaaah, kamu juga menikmati dicolek sama dia. Naaah, beres kan. Sekarang salaman, masalah sudah selesai”.
“Cium… cium… cium… !”.
“Sosor !”.
“Peluk !”.
“Gendong !”.
“Pangku !”.
“Geret !”.
“Pulangnya anterin !”.
“Minum es teh !”.
“Campur sari !”.
“Aku melu… aku melu !”.
“Alhamdulillah !”.“Mulih… mulih, acarane wis bar !”.
Selesai

Dimuat di harian SOLOPOS pada edisi Minggu, 25 Juli 2004 dengan judul “Aku Nggak Sengaja."
 
*) terakhir dipost oleh : 3kerajaan.blogspot.com

Hadiah for Mums and Dads


Suatu kali bingung kita (my wife and me), hadiah apa ya yang bisa dikasih buat Orang tua kita di saat mereka ulang tahun atau sekedar keinginan memberi kepada mereka di suatu momen. Bingung.  Kalau dikasih yang itu-itu aja (baju, kaset CD, atau pernik), nanti takut bosan : tidak terpakai atau bermanfaat sebentar.

Akhirnya, lamunan yang sedikit dipaksa keluar juga hasilnya : Memberi hadiah yang murah meriah tapi bermanfaat yang pas buat usia dan momen mereka..

Taraaaaa !!!!

KUPON PIJAT KITA SIAPKAN, SEMOGA BERMANFAAT BUAT SIMBOK LAN BAPAKE, SUGENG TANGGAP WARSO,




 SUGENG DUGI MALIH TING GRIYA .....

Kord dan Lirik - Dewa 19 - Album Laskar Cinta




Laskar Cinta adalah album ketujuh karya grup band rock Indonesia, Dewa 19. Album ini dirilis pada tahun 2004 di bawah label Aquarius Musikindo. Singel pertama dari album ini adalah "Pangeran Cinta".

Daftar lagu

  1. "Pangeran Cinta"
  2. "Atas Nama Cinta"
  3. "Satu"
  4. "Indonesia Saja"
  5. "Sweetest Place"
  6. "Hidup Ini Indah"
  7. "Cinta Gila"
  8. "Nonsens"
  9. "Hadapi Dengan Senyuman"
  10. "Matahari Bintang Bulan"
  11. "Aku Tetaplah Aku"
  12. "Shine On"

***************************************************************************************

PANGERAN CINTA
Intro : F#m  C#m  E  D (2x)

F#m    C#m          E
Detik-detik berganti dengan detik
D                      F#m
Menit pun silih berganti
         C#m              E
Hari-hari pun terus berganti
             D               F#m
Bulan-bulan juga terus berganti
            C#m           E
Jaman-jaman pun terus berubah
          D
Hidup ini juga pasti mati

Reff : 

F#m   C#m     E          Bm
Semua ini pasti akan musnah
F#m    C#m     E          Bm
Tetapi tidak cintaku padamu
F#m    C#m    E             Bm
Karena aku sang pangeran cinta

Int : F#m  C#m  E  D

F#m    C#m        E
Malam malam diganti dengan pagi
D               F#m
Pagi pun jadi siang
            C#m            E
Tahun-tahun pun berganti abad
               D             F#m
Yang muda pun pasti menjadi tua
            C#m              E
Musim-musim pun terus berganti
          D
Hidup ini juga pasti mati
F#m       C#m          E
Tak akan ada yang abadi
          D         F#m 
Tak akan ada yang kekal

Int : F#m

Kembali ke : Reff

Int : F#m  G  F#m   G  (6x)

Kembali ke : Reff (4X) 


***************************************************************************************

ATAS NAMA CINTA

Intro : C F C F

C F
Katamu kau cinta aku
C F
Demi tuhan kau bersumpah
C F
Katamu kau akan setia
C F
Demi tuhan kau berjanji

Am AmM7 Am7 F E
Begitu mudah mulutmu berkata
Am AmM7
Atas namakan tuhan
AmM7 F E
Demi kepentinganmu

Reff :
F C Am G
Atas nama Ö cinta saja
F C Am G
Jangan bawa ... Nama Tuhan

C F
Apapun cara kau tempuh
C F
Untuk dapatkan yang kau mau
C F
Meski kau harus jual murah
C F
Ayat ayat suci tuhan

Am AmM7 Am7 F E
Begitu mudah mulutmu berkata
Am AmM7
Atas namakan tuhan
AmM7 F E
Demi kepentinganmu

Kembali ke : Reff
Int : C F C F (3x)

Am AmM7 Am7 F E
Begitu mudah mulutmu berkata
Am AmM7
Atas namakan tuhan
AmM7 F E
Demi kepentinganmu

Kembali ke : Reff (4x)

***************************************************************************************

SATU   

Intro: G  Cm
 
G    Cm      G        Cm
Aku ini... adalah dirimu
G      Cm     G
Cinta ini... adalah
        Cm  G  Cm  G  Cm
cintamu
G    Cm      G        Cm
Aku ini... adalah dirimu
G     Cm    G        Cm
Jiwa ini.. adalah jiwamu
 
      Bm              Am
Rindu ini... adalah rindumu
      Bm            Am   D
Darah ini... adalah darahmu
 
Reff:       G       D        Em       Bm     C
               Tak... ada yang lain... selain dirimu
                      G         D
               Yang selalu kupuja... wouwow...
               G       Bm   C
               Ku... sebut namamu...
               A/C#          D      D#
               Di setiap hembusan nafasku
                     Em      D#
               Ku... sebut namamu...
                     D      A/C#  C
               Ku... sebut namamu...
 
Int: G  Cm (4x)
 
G             Cm   G         Cm
Dengan tangan-Mu......aku menyentuh
G           Cm
Dengan kaki-Mu...
G        Cm  G  Cm  G  Cm
aku berjalan
            G          Cm
Dengan mata-Mu... aku memandang
         G             Cm
Dengan telinga-Mu... aku mendengar
       Bm              Am
Dengan lidah-Mu... aku bicara
       Bm           Am   D
Dengan hati-Mu aku merasa
 
Kembali ke: Reff
Int: G  Cm
Kembali ke: Reff 
 
***************************************************************************************

INDONESIA SAJA
Gm Cm Am D
Aku bukan orang jawa
Gm Cm Am D
Aku juga bukan sunda
Gm Cm Am D
Aku bukan orang aceh
Gm Cm Am D
Aku juga bukan ambon

Gm Cm Am D
Aku bukan orang cina
Gm Cm Am D
Aku juga bukan arab
Gm Cm Am D
Aku bukan kiri
Gm Cm Am D
Aku juga bukan kanan
Gm Cm Am D
Aku bukan hijau
Gm Cm Am D
Aku juga bukan merah

Reff: Cm Am D Gm
Aku hanya merasa
Cm Am Gm
Aku orang Indonesia saja

Kembali ke : Reff (4x)

***************************************************************************************

SWEETEST PLACE
Intro: D
            D
This is the sweetest place
       D
Baring my feeling
         D
I`m welcoming an eye
         Em
Into the darknest one

            D
It tells me not to worry
        D
For the time is yet to come
        D
For someone to arrive
            Em
And heal the trouble one

F              G              A
Wash away these tears of yesterday

D          Em
I hear the sound of
  D       Em
A raising chorus
D           Em
Sung by the angels
        D      Em
And the broken heroes
  A       G        A       G 
I wont go back now I feel so right
     A      G
I`ve found a place
     A                     G
Where dreams and life become one

    A         G     A     G
And finally I don`t have to run
     A      G
I`ve found a place
     A                     G
Where dreams and life become one
      A   G 
Become one... become one 

***************************************************************************************

HIDUP INI INDAH
 
Intro:  A  AM7  A7  G  D

A AM7  A7        G            D
Matahari menyinari seisi bumi seperti engkau
A AM7   A7                 G
Menyinari roh didalam jasadku ini
D            A          AM7
Selamanya seperti hujan
A7               G
Kau basahi jiwa yang kering

Reff:

Gm     F         Bb   C      F
Hidup ini indah bila ku selalu
Bb        C     Dm
Ada disisimu setiap waktu
                        C      Bb     Am
Hingga aku hembuskan nafas yang terakhir
    C        Bb    F
Dan kita pun bertemu


A AM7   A7            G
Kau bagai udara yang kuhirup
D                    A     AM7
Disetiap masa engkaulah darah
A7                   G
Yang mengalir dalam nadiku

Kembali ke: Reff

Cm            Bb     F
Maafkanlah s`lalu... salahku...
Cm                  Bb
Karna kau memang pemaaf
Bbm             F
Dan aku hanya manusia

Int: Bb  BbM7  Bb7  Ab  Eb
     Bb  BbM7  Bb7  Ab
    
Reff:

Abm    Gb        B   Db      Gb
Hidup ini indah bila ku selalu
B        Db    Ebm
Ada disisimu setiap waktu
                       Db       B    Bbm
Hingga aku hembuskan nafas yang terakhir
     Db      B     Gb
Dan kita pun bertemu
Db        B   Bbm        Db   B     F
Hanya kau dan aku dalam awal dan akhir

Coda: Db  B  Bbm  A  (fade out)

***************************************************************************************

CINTA GILA
Intro: Am E

Am                   E
Hati...hati...dengan hatiku
Am                   E
Karna hatiku mudah layu
Dm                  C
Jangan kamu bermain-main
B                      E
Karna ku tak main-main...

Am                   E
Sungguh aku bersungguh-sungguh
Am                   E
Cintaku ini cinta mati
Dm                  C
Mati-matian aku
B5                    E
Pertahankan cintaku

Reff:

Am       Dm                  G         C C/B
Aku takkan rela... bila kau tinggalkan
Am       Dm                 E
Aku kan berbuat...apa saja
D5       E5        D5       C5       B5        A5
Untuk mendapatkan ka...mu la....gi

Int: Am E

Am                   E
Rupa...rupa...alasan kamu
Am                   E
Untuk tetap tinggalkan aku
Dm                  C
Rupanya kamu menang
B                      E
Sudah tak cinta aku

Am                   E
Cintamu yang berbisa
Am                   E
Bisa racuni aku
Dm                  C
Bisa-bisanya kamu
B5                    E
Mau tinggalkan aku...

Kembali ke: Reff

Int: Am E (2x)
Dm C B E
Am E (2x)
Dm C B E
Kembali ke: Reff

***************************************************************************************

NON SENSE 

E D A E D A
Bila... ...ada adalah... tidak ada
E D A E D A
Bila... ...apa yang...kau tahu salah
E D A E
Bila... ...apa...yang...
D A
Kau dengar bohong

Int: E D A

E D A
Apakah langit
E D A
Memang ada diatas kita
E D A
Apakah langit
E D A
Memang biru-biru warnanya
E D A
Apakah langit
E D A
Memang benar-benar adanya

Reff: E G#m
Tak ada kebenaran hakiki
C#m B
Yang ada cuma hanya
A
Kamu disana
G#m F#
Dan akulah milikmu

Int: E D A (2x)

E D A E D A
Keyakinan... akan sebuah kebenaran
E D A
Bukanlah kebenaran
E D A
Kebenaran yang sejati
E D A E D A
Bila tak benar... di uji kebenarannya

Kembali ke: Reff

***************************************************************************************
 
HADAPI DENGAN SENYUMAN

 (*)

G               Em
Hadapi dengan senyuman
             Am
Semua yang terjadi
          D
Biar terjadi...
  Bm           Em
Hadapi dengan tenang jiwa
   Am             D
Semua...kan baik-baik saja

(**)

G              Em
Bila ketetapan Tuhan
         Am
Sudah ditetapkan
           D
Tetaplah sudah...
    Bm            Em
Tak ada yang bisa merubah
      Am        D
Dan takkan bisa berubah

Reff:

C             Am
Relakanlah saja ini
      Bm             D
Bahwa semua yang terbaik
   C              Am
Terbaik untuk kita semua
     Bm             D
Menyerahlah untuk menang

Kembali ke (*), (**), Reff (2x)

***************************************************************************************

AKU TETAPLAH AKU 

Intro: G D Am C

G D Am C
Angin-angin pun berhembus
G D Am C
Hujan-hujan pun berderai
G D Am C
Petir-petir pun menyambar

G D Am C
Burung-burung pun berkicau
G D Am C
Ayam-ayam pun berkokok
G D Am C
Anjing-anjing pun menggonggong

Reff: G D Am C
Aku tetaplah aku begini
G D Am C
Kamu tetaplah kamu begitu
G D Am C
Aku tetaplah aku begini
G D Am C
Kamu tetaplah kamu begitu

***************************************************************************************

SHINE ON

Am    F      C   C/B
Hidup ini punya........
Am   F     C  C/B  Am
sejuta warna
Am         F       C   C/B
Tak hanya hitam putih......
Am      F  C   C/B
begitu adanya

(*)

F        C
Apa yang kamu
  Dm
yakini sebagai
   Am      G
Sebuah kebenaran
F         C
Mungkin bukanlah
  Dm
Sebuah kebenaran
  Am         G
Buat yang lainnya


Reff I:

C     G           Am
Shine on... Shine on
F              C
Let`s make harmony
G            Am    F
For a better future
C     G           Am
Shine on... Shine on
F              C
Let`s make harmony
G            Am    F
For a better future


http://cooltext.com/Render-Image?RenderID=603390124