Teman kantor saya, Pak Anwar dkk, baru saja tiba dari Jepang dalam rangka mengikuti konvensi SS/GKM (Gugus Kendali Mutu) yang diselenggarakan selama 1 minggu tersebut. Seperti biasa, selain "menodong" oleh-oleh, saya juga siap mendengar cerita Pak Anwar selama di Jepang tentang negara Oshin tersebut, sebab Pak Anwar, bagi saya, termasuk orang yang suka bersemangat untuk bercerita. Apapun.
"Di Jepang, orang sudah terlalu tertib, enggak salah kalau Jepang memang dikatakan negara maju. Lha, pengguna escalator aja tertib berderet di tepi kanan escalator kalau dia dalam posisi berdiam. Maksudnya adalah biar orang lain yang punya keperluan mendesak, dan harus segera naik ke lantai atas bisa leluasa berjalan… Luar bisa budaya pedulinya”
“Di Sibuya juga orang pejalan kaki itu bisa dibilang ribuan dalam satu waktu pas kita berjalan di sana. Mereka hobi banget jalan kaki. Gak tua gak muda. Kita aja yang masih muda kalah cepet sama yang tua kalo jalan. Terus yang bikin menarik, pas di lampu merah. Pejalan kaki yang mau nyebrang tertib banget, kalo belum lampu pejalan kakinya ijo, belum nyebrang mereka. Gak peduli masing-masing pejalan kaki punya kesibukan yang paling urgent sekalipun. Yang penting tertib dan sesuai haknya. Dan begitu lampu pejalan kaki hijau, brrrrrrrrr, kayak tsunami orang saking deres dan cepetnya pejalan kaki nyebrang…”
Yah begitulah Negara maju. Masyarakatnya saja sudah berbudaya tertib : peduli hukum yang artinya juga peduli dengan hak orang lain. Pak Anwar melanjutkan.
“Dulu saya tahun 90-an pernah ke Jerman. Jalanan di sana bersihhh banget. Tembok jalan aja paling 3 hari sekali baru dibersihin lagi dari debu. Kalo tertib, mereka udah tertib dari dulu. Jangankan orang, hewan. Anjing disana kalo nyebrang juga lewat zebra cross. Kalo kita??. Ya begitulah…”
....
Selama dan setelah mendengar oleh-oleh cerita dari Pak Anwar, saya langsung teringat dengan artikel KOMPAS.COM yang pernah saya baca suatu kali.
Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.(dikutip dari kompas.com)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh dua peneliti dari George Washington University (Rehman dan Askari) yang menulis tentang "How Islamic are Islamic Countries"dan dimuat di Global Economy Journal.
Peneliti dari GWU tersebut meneliti 208 negara dengan tujuan untuk:
to examine what we believe to be important Islamic teachings that should shape the policies of a country that is labeled as “Islamic”; and, second, we propose a preliminary measure of the extent of adherence to religious teachings and doctrines in countries that we label as Islamic i.e. to develop an index measuring the degree of “Islamicity” of countries, based on Islamic teachings
Kedua peneliti tsb mengukur 208 negara tersebut menurut Islamicity Index yang terdiri dari 4 kelompok indikator: (1) Economic (2) Legal and Governance (3) Human and Political) (4) International Relations.
Hasilnya diperlihatkan dalam sebuah tabel Islamicity Index Rank.
Saya cuplik data yang tercantum dalam tabel tsb a.l adalah:
Komarudin Hiadyat juga menceritakan bahwa UIN pernah membawa sejumlah ustadz dan kyai ke Jepang selama 2 minggu dan sekembalinya mereka berpendapat bahwa kehidupan sosial di Jepang mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai di Indonesia maupun Timur Tengah. Mereka menemukan bahwa masyarakat di Jepang terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.
- Lima negara tertinggi (1 - 5) adalah: New Zealand, Luxembourg, Ireland, Iceland, Finland
- Indonesia masuk ranking 140 (Timor Leste - 107)
- Sejumlah negara Islam masuk dalam ranking sbb: Malaysia (38), Afganishtan (169), Pakistan (147), Bangladesh (132), Saudi Arabia (131).
Peneltian tersebut dengan mengajukan ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.
Arti dari semua ini adalah, ternyata nilai-nilai keimanan itu dalam tanda kutip, tidak otomatis serta merta melahirkan tata nilai yang Islami. Tetapi pada bangsa-bangsa yang telah berperadaban “maju”, seperti German atau Jepang, justru disanalah tumbuh sistem nilai yang Islami, minus keimanan tersebut. Ini dibuktikan oleh sejumlah Kiai yang diminta untuk memahami, bagaimana kehidupan bangsa-bangsa tersebut, dilihat dari kacamata ke islaman.
Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.
Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. ”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya.
Ternyata ada benarnya bahwa orang beragama Islam belum tentu Islami perilakunya. Ya memang tidak salah atas Sunatullah yang telah Dia tetapkan. Selaras dengan Sunatullah yang telah Dia tetapkan.
Siapa yang berbuat, dia atau mereka atau bangsa, maka dia mereka atau bangsa yang akan menuai hasilnya.